Tidak baik memendam perasaan terlalu lama. Itulah sederet
kata yang diberikan oleh teman dekatku setiap aku curhat tentang orang yang aku
sukai selama empat tahun belakangan ini. Perkenalkan, aku adalah si jomblowati
yang sulit move on.
Sekarang berstatus sebagai seorang mahasiswi semester satu, untuk universitas
dan jurusan tidak perlu disebutkan. Oke, kembali ke topik semula. Kenyataannya,
pria itu sudah aku sukai secara diam-diam sejak diriku masih duduk di kelas 10
SMA. Sadar itu bukan waktu yang singkat, aku mengecap diriku sendiri payah dan
bodoh. Membuang waktuku yang berharga hanya untuk setia menunggu seorang pria
yang mustahil memiliki perasaan yang sama, tetapi mau bagaimana lagi,
disesalipun sudah kepalang tanggung menyukainya sejauh ini.
Flashback ke
masa lalu, memoriku masih menyimpan dengan jelas saat pertama kali melihatnya
dalam kegiatan penyeleksian tim atlet sekolah. Dia adalah salah satu atlet
senior yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Lebih tepatnya, pertama aku
melihat sosoknya ketika sedang seleksi lari dengan jarak 100 meter. Wajah itu
terlihat serius karena sibuk dengan tugas mencatat waktu yang ditempuh oleh
para peserta seleksi. Dia memenuhi kriteria tipe idealku. Haha..jadi geli
sendiri. Secara kulitnya putih, rambut hitam lurus yang dipotong pendek dan
rapi, tapi masih menyisakan poni yang menutupi keningnya. Ia memakai jaket
hodie warna putih dan juga celana trinning pendek sebatas lutut dengan warna
senada. Meskipun ia tidak tinggi untuk ukuran pria tetapi menurutku
penampilannya sudah cukup membuat hati para gadis tertarik padanya.
Dengan tololnya mataku tak mau berpindah ke lain objek
selain dirinya. Ini adalah keberanian pertama yang pernah aku lakukan, meskipun
ia sudah menghadap ke arahku dan saling bertemu pandang, aku masih saja berani
menatapnya dengan intens. Setelah beberapa saat dengan canggung ia melepas
kontak mata kami, mungkin dia merasa risih dengan tatapanku hingga selanjutnya
ia mengambil posisi agak membelakangi tubuhku. Aku jadi kikuk
sendiri.
***
Selang beberapa waktu setelah kegiatan tersebut dengan
sendirinya aku mulai melupakan sosoknya, mungkin karena terlalu menyibukkan
diri dengan tugas dan ulangan yang tidak bisa ditolerir sampai-sampai aku lupa
dengan wajahnya. Aneh, memoriku yang terbatas atau sudah tidak peduli. Setiap
gadis pasti akan mengingat dengan baik wajah pria yang disukainya, sedangkan
aku hanya teringat dengan siluet tubuhnya. Hingga pada suatu ketika seseorang
staff Tata Usaha yang masih muda dengan wajah lumayan tampan masuk ke dalam
kelas. Staff Tata Usaha tersebut memberi informasi bahwa guru pengampu mata
pelajaran Geografi sedang berhalangan hadir dan untuk tugas nanti akan menyusul
menunggu guru piket datang. Selepas staff muda itu keluar aku seperti teringat
akan sesuatu. Bingo! wajahnya mirip dengan “Dia”
yang aku lihat saat di lapangan.Aku masih ragu dan di antara rasa tidak
percaya. Jujur, wajahnya saja terasa remang-remang di otakku. Aku tertawa di
dalam hati, kenapa diriku bisa mengagumi seorang staff Tata Usaha yang
usianya terpaut jauh dariku?.
***
Bel tanda bergantinya jam telah berbunyi, waktunya moving class, mata pelajaran terakhir di hari
Sabtu adalah Ekonomi. Bersama dengan teman-teman, aku berjalan dengan
tergesa-gesa karena ingin mencari tempat yang aman dan nyaman agar bisa
meluangkan waktu untuk mengantuk pada saat guru menerangkan. Saat hampir tiba
ke kelas yang aku tuju secara tidak sengaja aku melihat seseorang berdiri di
depan kelas Matematika. Ia memiliki wajah lebih mirip dengan pria yang aku lihat
di lapangan. Seakan-akan ingatanku kembali. Dengan jelas aku dapat mengingat
kembali wajahnya. Keraguanku terjawab sudah, dia nyata-nyata bukan staff Tata
Usaha. Dia adalah kakak kelasku, dua tingkat di atasku. Kulihat dengan
santainya ia berdiri di tengah-tengah pintu yang terbuka dengan lengan kanannya
disenderkan ke kusen pintu dan jari tangan kiri ia sembunyikan ke dalam saku
celana pramukanya. Layaknya model yang sedang berpose untuk sebuah majalah. Aku
tersenyum simpul. Dia, kakak kelas yang spesial bagiku selama menimba ilmu di
SMA.
Keraguanku sudah terjawab, tetapi aku belum tertarik untuk
mengetahui namanya. Aku memang gadis pemalu yang tidak mau jujur mengakui
perasaannya sendiri. Sering aku mencuri pandang padanya saat berpapasan. Pernah
secara tidak sengaja kami bertemu pandang kembali untuk beberapa kali, tetapi
aku selalu dapat menguasai situasi. Aku hanya menjaga image cuek dan dinginku
terhadap lawan jenis, karena itu sudah menjadi prinsipku sejak lama.
***
Semester dua di tahun pertamaku di SMA, aku mendapat
keberanian menceritakan perasaanku kepada dua teman terdekatku. Mereka
menertawakanku karena tidak tahu namanya dan tidak pernah mengorek informasi
tentang dirinya. Dulu aku sempat berpikir bahwa itu tindakan yang tidak
penting, tetapi keinginan untuk tidak peduli malah membuatku semakin penasaran.
Dari perbincangan pribadi itulah aku baru tahu nama dan mendapatkan fakta
tentangnya kalau dia pernah berpacaran dengan teman sekelasku. Entah, aku tidak
terkejut dan tidak terlalu merasakan sakit hati, karena aku hanyalah pengagum
rahasia yang tidak berharap lebih.
Sampai dia lulus dan melanjutkan ke perguruan tinggi, rasa
ini belum ada perkembangan. Masih sama seperti dulu, tidak bertambah,
tetapi juga tidak berkurang. Aku masih menutup rapat dan menyimpannya dengan
rapi dan hanya sedikit orang yang mengetahuinya. Sudah empat tahun aku tidak
pernah melihat sosoknya, tiba-tiba kemarin aku melihatnya di kampus. Perlu
dicatat aku melanjutkan ke perguruan tinggi yang sama dengannya bukan berarti
mengejarnya seperti kisah dalam salah satu film Thailand “Season Change”. Aku
akui kalau rasa ingin memilikinya suatu saat nanti timbul kembali, tetapi
langsung kubuang jauh-jauh pemikiran tersebut setelah sadar kalau ia pasti
sudah memiliki seorang kekasih. Sebisa mungkin aku tidak akan memaksakan diri
dengan berusaha menghilangkan seluruh perasaan ini, aku akan mencoba dengan
perlahan, terkikis dengan sendirinya hingga tidak bersisa, lalu digantikan oleh
sosok lain yang lebih baik.
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar